Mulai 1 Agustus 2010, Direktorat Jenderal Bea Cukai (Ditjen BC) Kementerian Keuangan telah mengoperasikan sistem Electronic Data Interchange (EDI) secara penuh, sekalipun terbatas pada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tanjung Priok dan Bandara Soekarno-Hatta.
Melalui sistem EDI, banyak keuntungan operasional yang bisa diraih antara lain pengurangan biaya kertas, pengiriman, pengadaan barang dan proses manual; memperbaiki cash flow perusahaan; dan pengurangan tingkat kesalahan sekaligus peningkatan keamanan. Di sisi lain, implementasi EDI juga memberikan keuntungan dengan meningkatkan citra perusahaan, memperbaiki daya saing, dan meningkatkan hubungan dagang perusahaan yang sudah ada.
Namun, alih-alih memperoleh berbagai keuntungan tersebut, pada praktiknya di lapangan, implementasi sistem EDI masih menghadapi banyak kendala. Binsar Marpaung, Sekretaris Jenderal Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) ketika dihubungi Business News. Selasa (24/8) mengatakan bahwa pihaknya menerima laporan dari sejumlah anggota yang tidak bisa mengeluarkan barangnya di Bea Cukai (BC) Bandara Soekarno-Hatta karena rumitnya masalah perizinan pengeluaran barang.
"Padahal, sebagian besar barang impor yang masuk melalui BC Soekarno-Hatta tersebut adalah barang-barang sampel yang beratnya hanya antara 0.5 kg - 1 kg. Selain itu, barang-barang tersebut juga bukan termasuk kategori barang berbahaya, misalnya mengandung penyakit mulut dan kuku. Sebagian besar adalah contoh kulit atau sepatu jadi,* ungkapnya.
Saat ini belum semua institusi yang terkait dengan prosedur kepabeanan bergabung dengan sistem EDI yang digunakan oleh Ditjen BC. Hal tersebut bisa jadi menghambat kelancaran pengurusan dokumen, misalnya belum adanya akses antara kalangan perbankan dengan
Ditjen BC. " Missing link ini membuat pengiriman bukti pembayaran tidak diterima saat importir mentransfer data ke Bea Cukai. Akibatnya, importir terpaksa harus membawa terlebih dahulu bukti pembayarannya ke bank, setelah itu proses dokumen dapat dilanjutkan kembali."
Selain itu, kesiapan infrastruktur dan SDM-nya juga belum maksimal. Ada kesan pemerintah terlalu memaksakan aturan ini, sehingga justru membuat kalangan pelaku usaha bingung. Kondisi ini jelas kontraproduktif dengan tujuan sistem EDI itu sendiri, yakni dalam rangka meningkatkan daya saing nasional serta meningkatkan fasilitas perdagangan dalam menghadapi persaingan global.
Saat ini barang-barang sampel kian menumpuk di gudang bandara. Apabila tidak segera dikeluarkan, gudang akan penuh dengan barang. Untuk itu, agar barang bisa keluar, pihak BC Bandara kemudian mengeluarkan peraturan bahwa setiap pemilik barang dapat mengeluarkan barangnya dengan melakukan pembayaran Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIB-K). Barang akan segera keluar jika sudah membayar PIB-K."
Para pengusaha terpaksa bersedia membayar PIB-K agar barang sampelnya bisa keluar. Barang sampel tersebut merupakan kiriman dari pihak buyers dari luar negeri yang memesan sepatu. Buyers bisa saja membatalkan pesanannya jika tidak tepat waktu. "Jadi, ini merupakan salah satu komitmen pelaku usaha untuk memenuhi pesanan buyers di luar negeri dengan tepat waktu.
Ditjen BC diharapkan agar perlu lebih gencar melakukan sosialisasi dan pelatihan ke berbagai pelaku usaha yang terkait dengan kegiatan kepabeanan. Ditjen BC juga perlu proaktif melakukan pendekatan ke berbagai instansi pemerintah terkait, seperti Pelindo II yang sedang mempersiapkan EDI pelayanan operasional dan nantinya bisa diharapkan interkoneksi dengan sistem EDI kepabeanan yang telah ada. (ST)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar